Foto: Deddy Sinaga (detikFinance) |
Jakarta -Robita adalah merek tas yang populer
di antara sosialita Jepang. Merek ini termasuk ke dalam jajaran produk
fashion yang berkelas di negeri Matahari Terbit itu. Tapi tahukah anda
bahwa tas ini dibuat di Indonesia dan pengusahanya seorang bekas tukang
kebun hotel di Bali?
Sunny Kamengmau namanya. Pria asal Nusa Tenggara Timur itu bilang, ramuan suksesnya adalah keberanian dan kerja keras. Ramuan itu membuat Sunny menjadi salah satu aktor utama di balik popularitas Robita di Jepang.
Pada Selasa (18/3/2014) lalu detikFinance berkesempatan bertemu dengan Sunny di Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Dia mengawali kisahnya dari Kupang, NTT, pada 1994. Saat itu usianya baru 18 tahun.
“Saat itu saya lari dari rumah dan tidak menyelesaikan pendidikan SMA,” kata Sunny, mengawali pembicaraan. Pelariannya membawa Sunny ke Kuta, Bali. Di sebuah hotel bernama Un's Hotel, dia diterima sebagai tukang kebun.
Dalam waktu setahun dia 'naik pangkat' menjadi satpam. Profesi ini dijalani selama empat tahun. Setelah itu sebuah peluang baik datang. Tapi kedatangannya tak seperti durian runtuh.
Selama bekerja di Un's Hotel, Sunny getol belajar bahasa Inggris dan Jepang supaya bisa bergaul dengan para tamu. Begitu teguh niatnya, sampai-sampai gaji pertama sebagai tukang kebun, Rp 50 ribu, sebagian dibelikannya kamus bahasa Inggris.
Sunny bilang, para tamu dan keluarga pemilik Un's Hotel adalah guru bahasanya. Kombinasi antara kemauan belajar dan sikap yang baik membuatnya bergaul akrab dengan majikan dan tamu. “Antara saya dan keluarga bos, terutama anaknya Marlon ini, seperti tidak ada jarak,” ujar Sunny.
Sunny Kamengmau namanya. Pria asal Nusa Tenggara Timur itu bilang, ramuan suksesnya adalah keberanian dan kerja keras. Ramuan itu membuat Sunny menjadi salah satu aktor utama di balik popularitas Robita di Jepang.
Pada Selasa (18/3/2014) lalu detikFinance berkesempatan bertemu dengan Sunny di Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Dia mengawali kisahnya dari Kupang, NTT, pada 1994. Saat itu usianya baru 18 tahun.
“Saat itu saya lari dari rumah dan tidak menyelesaikan pendidikan SMA,” kata Sunny, mengawali pembicaraan. Pelariannya membawa Sunny ke Kuta, Bali. Di sebuah hotel bernama Un's Hotel, dia diterima sebagai tukang kebun.
Dalam waktu setahun dia 'naik pangkat' menjadi satpam. Profesi ini dijalani selama empat tahun. Setelah itu sebuah peluang baik datang. Tapi kedatangannya tak seperti durian runtuh.
Selama bekerja di Un's Hotel, Sunny getol belajar bahasa Inggris dan Jepang supaya bisa bergaul dengan para tamu. Begitu teguh niatnya, sampai-sampai gaji pertama sebagai tukang kebun, Rp 50 ribu, sebagian dibelikannya kamus bahasa Inggris.
Sunny bilang, para tamu dan keluarga pemilik Un's Hotel adalah guru bahasanya. Kombinasi antara kemauan belajar dan sikap yang baik membuatnya bergaul akrab dengan majikan dan tamu. “Antara saya dan keluarga bos, terutama anaknya Marlon ini, seperti tidak ada jarak,” ujar Sunny.
Marlon, nama yang disebut Sunny, kebetulan ikut menemani sesi
wawancara petang itu. Meski ayahnya memiliki hotel besar, lelaki yang
satu ini memilih menjadi peselancar profesional di Bali. Mendengar
penuturan Sunny, Marlon mengangguk membenarkan sambil tersenyum.
Kemampuannya berbahasa Jepang mempertemukan Sunny dengan seorang tamu bernama Nobuyuki Kakizaki pada 1995. Lima tahun mereka berteman sebelum akhirnya pengusaha konveksi asal Jepang itu menawari Sunny sebuah pekerjaan baru: memasok tas kulit.
Kakizaki dan perusahaannya, Real Point Inc., rupanya mengincar bisnis baru di Jepang. Pada 2000 Sunny memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai satpam dan mulai menggeluti bisnis pembuatan tas kulit itu.
Prosesnya ternyata tak semudah yang dibayangkan. Sunny mengakui berkali-kali produk yang dibuatnya gagal. Pesanan pun nihil. Dia bahkan nyaris ditinggalkan oleh satu-satunya tenaga pembuat tas yang direkrutnya, lantaran tak ada pemasukan sama sekali.
Bagaimana Sunny bisa bertahan dan mengatasi masalah tersebut? Bagaimana bisnisnya kemudian tumbuh dari hanya 100 tas per bulan menjadi 5.000 tas per bulan dengan omset paling sedikit Rp 10 miliar per bulan?
Kemampuannya berbahasa Jepang mempertemukan Sunny dengan seorang tamu bernama Nobuyuki Kakizaki pada 1995. Lima tahun mereka berteman sebelum akhirnya pengusaha konveksi asal Jepang itu menawari Sunny sebuah pekerjaan baru: memasok tas kulit.
Kakizaki dan perusahaannya, Real Point Inc., rupanya mengincar bisnis baru di Jepang. Pada 2000 Sunny memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai satpam dan mulai menggeluti bisnis pembuatan tas kulit itu.
Prosesnya ternyata tak semudah yang dibayangkan. Sunny mengakui berkali-kali produk yang dibuatnya gagal. Pesanan pun nihil. Dia bahkan nyaris ditinggalkan oleh satu-satunya tenaga pembuat tas yang direkrutnya, lantaran tak ada pemasukan sama sekali.
Bagaimana Sunny bisa bertahan dan mengatasi masalah tersebut? Bagaimana bisnisnya kemudian tumbuh dari hanya 100 tas per bulan menjadi 5.000 tas per bulan dengan omset paling sedikit Rp 10 miliar per bulan?
0 komentar:
Posting Komentar
dari artikel di atas ada yang mau ditanyakan?